🎍 Kh Ahmad Said Asrori Magelang
MengenalKH Asrori Ahmad, Magelang, Jawa Tengah (1923-1994), penulis kitab yang produktif dari kalangan pesantren. Menurut cerita putranya KH Ahmad Said
hzOD7. Jakarta, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU menyambut positif kehadiran Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama BUMNU di beberapa Pengurus Cabang atau Pengurus Wilayah di Indonesia. PBNU menyebut, peran pengurus cukup berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi Nahdliyin. Ketua PBNU, H Ishfah Abidal Aziz atau biasa disapa H Alex mengatakan, untuk mewujudkan kemandirian ekonomi NU, harus dimulai dari komitmen para pengurus. Dia mengingatkan, ada tiga kewajiban yang melekat pada pengurus NU, yakni taqwiyatul jamaah melakukan penguatan jamaah, himayatul jamaah melakukan perlindungan umat, dan tandhimul jamaah melakukan pengorganisasian. "Salah satunya bidang ekonomi. Bagaimana warga NU ini melakukan kekuatan dan kita lakukan penguatan pada bidang ekonomi. Oleh karena itu, salah satu parameter keberhasilan struktur NU mulai PB hingga Pengurus Anak Ranting, apakah pengurus mampu memberikan penguatan ekonomi NU, itu paling penting," kata H Alex kepada NU Online, Jumat 19/5/2023. Tidak hanya pada bidang ekonomi, penguatan jamaah juga berlaku pada aspek budaya, pendidikan dan aspek-aspek yang. Sementara himayatul jamaah, menurut H Alex, diartikan sebagai upaya menjaga umat dari berbagai ancaman atau bahaya. Dimulai dari bahaya ideologi, gerakan yang menyimpang, hingga bahaya narkoba. Sedangkan ketiga yaitu tandhimul jamaah atau menata organisasi dengan sebaik-baiknya. "Terkait kemandirian ekonomi, saya kira itu menjadi mandat pengurus. Pengurus harus memberikan nilai terhadap warga NU," tuturnya. Sebagaimana diketahui, kehadiran Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama BUMNU merupakan salah satu keputusan Muktamar Ke-34 NU di Lampung 2021. Kehadiran BUMNU dianggap penting sebagai wujud kemandirian ekonomi jamaah dan jam'iyah Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Meski belum merata ada pada struktur kepengurusan NU di seluruh Indonesia, BUMNU mulai tumbuh dan disambut positif oleh para pengurus tanfidziyah NU di semua level kepengurusan. Bahkan, ada beberapa PCNU yang sudah berkembang cukup signifikan, misalnya di PCNU Magelang, Jawa Tengah. Direktur BUMNU PCNU Kabupaten Magelang, Ahmad Sulistyo, mengatakan, BUMNU PCNU Magelang sudah berjalan selama 4 tahun, dengan jenis usaha yang cukup beragam. Selain itu, masing-masing unit usaha memiliki pengelolaan keuangan masing-masing serta menghasilkan keuntungan secara sendiri-sendiri. Sulistyo menambahkan, ada dua jenis usaha BUMNU yang dikelola oleh PCNU Magelang, pertama usaha dalam bidang ritel yakni NU Mart, Bank Nahdlatul Ulama, NU Klinik, dan Bus NUGo. Kedua dalam bidang grosir yakni penjualan barang-barang grosir. Sulistiyo menjelaskan, NU Mart merupakan usaha bidang ritel yang dikelola oleh warga NU dengan asistensi dari PCNU Magelang. Saat ini sudah ada 3 tempat yang sudah berjalan. Sedangkan Bank Nahdlatul Ulama, merupakan unit usaha bidang perbankan yang dikelola PCNU Magelang. Pengelolaan Bank NU dilakukan secara profesional dan menjadi satu-satunya bank milik NU di Indonesia. "Karena capaian ini, PCNU-PCNU seluruh Indonesia melakukan studi banding ke PCNU Magelang,” katanya. Selanjutnya, NU Klinik, yaitu usaha di bidang kesehatan yang menjadi unit bisnis warga NU. Saat ini sudah berdiri 3 klinik yang membantu dan memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di Kabupaten Magelang. Kemudian, Bus NUGo yaitu unit usaha di bidang angkutan umum yang melayani perjalanan pariwisata. Bus ini dikelola oleh PCNU Magelang dengan sistem sewa kepada para pengguna. "Saat ini kami punya 4 unit bus yang dikelola manajemen PCNU," tutur Sulistiyo. Keempat, NU Grosir, yaitu usaha grosir yang melayani penjualan barang-barang grosir. Subhan menyebut, dalam sistem perdagangan, agar suatu produk dapat sampai di tangan konsumen, harus ada campur tangan dari kegiatan grosir, sebab tidak mungkin, produsen secara langsung menuju ke konsumen. Sekretaris PCNU Kabupaten Magelang, Najib Chaqoqo, mengatakan meskipun capaian yang diraih oleh PCNU Magelang cukup terlihat, namun, pihaknya masih terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan, terutama mengenai manajemen dan sistem penataan BUMNU. Dia berharap, siapapun pengurus PCNU Magelang, BUMNU harus berjalan serta memberikan kontribusi untuk PCNU dan jamaah. "Jadi bukan karena figur periodisasi kepengurusan kami, tapi bisa dilanjutkan kepengurusan periode selanjutnya,” ujarnya. Perkembangan BUMNU, lanjut Chaqoqo, tidak terlepas dari para pengurus PCNU yang selalu mengedepankan profesionalitas dalam hal pengelolaan unit usaha, serta mengontrol seluruh keuntungan yang didapatkan dari usaha-usaha tersebut. Selain itu, kekompakan juga menjadi kunci keberhasilan PCNU Magelang dalam mengembangkan usaha organisasi. Kontributor Abdul Rahman Ahdori Editor Kendi Setiawan
.Katib Aam PBNU KH. Ahmad Said Asrori. "Penulisan atau turots itu tidak harus berbahasa Arab, saya pikir," ungkap Katib Aam PBNU KH. Ahmad Said Asrori dalam acara bedah kitab di Hotel Sultan, Jakarta beberapa waktu lalu 7/2/2022. Turots, menurut Kiai Said Asrori, juga termasuk karya-karya terjemahan atas kitab-kitab bahasa Arab dalam bahasa Jawa termasuk juga Madura, Sunda dan bahasa Nusantara lainnya. Kitab tersebut biasanya dicetak dengan makna gandul dari kata perkata. Lengkap dengan tanda i’rabnya yang khas Nusantara. Seperti "mubtada" yang ditandai dengan "utawi", ataupun "khabar" yang ditandai dengan lafaz "iku". Apa yang diungkapkan oleh Kiai Said Asrori tersebut, memang benar adanya. Karya-karya terjemahan model demikian tak ubahnya karya-karya pinggiran. Jika mau jujur, nyaris tak mendapat perhatian yang signifikan dari para intelektual muslim Indonesia, bahkan yang berlatar belakang pesantren sekalipun. Signifikasi Karya Kitab Terjemahan Membaca ataupun mengkaji karya terjemahan yang demikian itu, seolah mengurangi kadar intelektualitas seorang cendekiawan. Menandakan penguasaan bahasa Arab yang lemah saat membaca karya-karya demikian. Namun, jika hendak berpikir lebih jauh, karya-karya yang dianggap pinggiran ini, memiliki signifikansi tersendiri. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama, diakui atau tidak, karya-karya inilah yang menyentuh kalangan pembaca yang amat luas. Selain di kalangan pesantren sendiri biasanya untuk bacaan bagi santri pemula atau sebagai muqabalah/ pembanding, juga dibaca luas di masyarakat. Seperti di pengajian-pengajian kecil di musala, surau, majelis taklim dan sejenisnya. Atau kalangan santri mustami' yang hanya sebatas mampu membaca huruf Arab dan Pegon belaka. Baca juga Kitab “Tasripan” dan Potret Pesantren di Tatar Sunda Akhir Abad 19 Tidak ada statistik yang mengungkap seberapa besar pengakses bacaan demikian. Namun, menurut keterangan dari pemilik Toko Kitab Salim Nabhan Surabaya saat saya wawancara pada 2021 lalu, setiap tahunnya ada puluhan ribu eksemplar yang ia jual. "Per judul, sekali cetak minimal sepuluh ribu. Rata-rata satu tahun sudah habis," ungkapnya. Dari jumlah ini, bisa dibayangkan signifikansi karya-karya terjemahan tersebut, dalam membentuk pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia. Semakin luas pembacanya, tentu saja, semakin kuat pula pengaruhnya, bukan? Signifikansi kedua, tentu saja, karya-karya tersebut adalah rekaman sanad intelektual yang komprehensif. Sebagaimana diketahui, sanad tidak hanya sebatas si A belajar kepada si B. Namun, apa yang dipelajari dari si A ke si B itu sendirilah yang menjadi penting. Seandainya si A belajar kitab Fathul Mu'in kepada si B, maka sanad tersebut merangkum cara pembacaan, pemaknaan, penjelasan dan ihwal lainnya dari kitab tersebut yang ditransfer kepada si A. Dalam proses tersebut, yang kadang membutuhkan waktu lama, tak sedikit ada yang terlewat. Semisal, satu dua kata yang tak sempat termaknai. Atau ada satu dua kalimat yang terlewatkan pemahamannya. Tentu saja, kealpaan demikian dapat ditoleransi, apalagi si santri telah memiliki basis ilmu nahwu yang baik. Sehingga bisa membacanya sendiri. Namun, hasil pembacaan tersebut, apakah dijamin akan sama dengan apa yang sang guru ajarkan? Tak mesti. Di sinilah, karya-karya terjemahan dari para kiai-kiai kita ini, akan memberikan sanad pembacaan suatu kitab dengan seksama. Sedangkan signifikansi ketiga dari karya-karya tersebut adalah potret dari laku intelektual para kiai kita. Diakui atau tidak, karya-karya tersebut akan menjadi jejak kekaryaan yang tak bisa disepelekan. Bagaimanapun karya tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari biografi para kiai kita. Merawat Warisan Intelektual Ulama Nusantara Jika kita mengabaikan karya-karya terjemahan seperti ini, tentu saja kita akan kehilangan tambang emas intelektualisme para ulama Nusantara. Jangan sampai nantinya, ketika abai mengkompilasikan sedini mungkin, kelak kita akan terseok-seok mencarinya kembali. Potret hari ini menggambarkan hal tersebut. Bagaimana saat kita menelusuri karya-karya ulama Nusantara pada abad 19 hingga paruh pertama abad 20, begitu kesulitan. Bagai mengais jarum di tumpukan jerami. Berbeda misalnya dengan Martin Van Bruinessen, indonesianis asal Belanda itu, cukup mendatangi Perpustakaan KTLV Leiden saat meriset tentang kitab kuning di Indonesia. Di sana, para orientalis pendahulunya, LWC Van den Berg, rajin mengumpulkan berbagai kitab yang dikumpulkan dari pesantren-pesantren pada pertengahan abad 19. Pada periode mutakhir, hal serupa dengan Berg juga dilakukan oleh Sophia University. Kampus di Jepang ini, pada 2006, mengumpulkan sejumlah kitab cetak yang ditulis atau diterjemahkan oleh ulama di Asia Tenggara, kitab yang dicetak di Asia Tenggara dan kitab yang ditulis, diterjemah, atau disyarah oleh ulama Non-Asia Tenggara namun dicetak di Asia Tenggara. Hasil pengumpulan tersebut kemudian diteliti dan diterbitkan menjadi katalog berjudul "A Provisional Catalogue of Southeast Asian Kitabs of Sophia University" pada 2015. Tak kurang dari 1817 judul kitab yang berhasil didata. Baca juga Kyai Sahal Mahfudz, Kitab Anwar Al-Bashair dan Tradisi Literasi Pesantren Dari praktek ini, memantik keprihatinan penulis. Bagaimana mungkin orang Jepang demikian tergerak untuk mengumpulkan kekayaan intelektual ulama Nusantara, sedangkan kita masih acuh tak acuh. Akankah anak cucu kita, lima puluh tahun lagi, harus ke Jepang hanya untuk membaca karya-karya ulama kita dewasa ini, Sebagaimana kita harus melawat ke Leiden hanya untuk menelusuri karya-karya ulama terdahulu? Dari sinilah, penulis mulai mengumpulkan terbitan-terbitan sejenis. Saya mendatangi sejumlah toko kitab. Seperti toko kitab 65 di Pasar Rogojampi, Banyuwangi, Toko Kitab Salim Nabhan di Surabaya dan terakhir di Toko Kitab Menara Kudus di Yogyakarta. Alhamdulillah, sudah ada puluhan judul yang bisa penulis kumpulkan. Tak seberapa memang. Tapi, penulis optimis, seiring waktu, koleksi ini akan terus membesar. Dari puluhan koleksi tersebut, setelah penulis amati, ternyata ada sejumlah karya dari Kiai Ahmad Said Asrori. Di antaranya adalah terjemah bahasa Jawa dari Kitab Kifayatul Atkiya' Al-Miftah, Surabaya. Selain itu, juga ada kumpulan khutbah Jum'at berjudul As-Sa'diyah Al-Miftah, Surabaya. Karya-karya Kiai Said Asrori ini ternyata melanjutkan kiprah para pinisepuhnya. Di antaranya sang ayahanda sendiri; KH. Asrori Ahmad, Tempuran, Magelang. Nama terakhir ini, konon juga banyak melakukan penerjemahan atas kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Jawa. Produktifitasnya, menurut Kiai Said, setara dengan KH. Bisri Musthofa dan KH. Misbah Mustafa. "Tiga ini tidak ada tandingannya dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kutubul Qadimah," ujar Kiai Said Asrori. Beberapa judul karya Kiai Asrori Ahmad yang berhasil penulis kumpulkan dan kini menjadi koleksi Komunitas Pegon adalah Irsyadul Ibad Menara Kudus, Riyadus Sholihin Menara Kudus, dan Risalatul Muawanah Menara Kudus. Sidang pembaca yang terhormat, adakah yang juga memiliki kecenderungan untuk mengkoleksi kitab-kitab yang sama? Yuk sharing koleksi. Artikel pertama kali dimuat di Alif.
Jakarta, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU telah menetapkan susunan kepengurusan masa khidmah 2022-2027. Dalam kepengurusan itu, KH Akhmad Said Asrori terpilih sebagai Katib Aam PBNU untuk meneruskan KH Yahya Cholil Staquf yang ditetapkan sebagai ketua umum. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan PBNU Nomor 01/ “Katib 'Aam, sebelah kiri saya, Almukarram KH Said Asrori,” ucap KH Miftachul Akhyar, Rais 'Aam PBNU, saat pengumuman kepengurusan PBNU masa khidmah 2022-2027 di Gedung PBNU Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu 12/1/2022. Kiai Said Asrori bukanlah orang baru dalam kepengurusan PBNU. Saat kepemimpinan KH Ma’ruf Amin sebagai Rais 'Aam PBNU 2015-2020, ia diangkat sebagai salah satu Rais Syuriyah PBNU. Sebelumnya, KH Said Asrori juga pernah diamanahi sebagai Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kabupaten Magelang. Ia merupakan putra dari KH Asrori Ahmad 1923-1994. Saat ini, kiai yang menamatkan studinya di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Kencong, Kepung, Kediri, PP. An-Nawawi Berjan Purworejo, PP. Roudlotut Tholibin, Rembang itu melanjutkan ayahnya dalam mengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thullab, Wonosari, Tempuran, Magelang, Jawa Tengah. Dalam mengelola pondok tersebut, ia dibantu saudara-saudaranya, antara lain KH Labib Asrori dan Kiai Kholil Mustamid Asrori. Sebagaimana diketahui, postur susunan kepengurusan PBNU ini mencerminkan realitas multipolar yang ada di lingkungan NU, baik dari segi kedaerahan, gender, maupun orientasi politik. "Seluruh daerah di Indonesia terwakili di jajaran. Sehingga PBNU yang kita miliki adalah PBNU yang berwajah Nusantara," kata KH Yahya Cholil Staquf. "Setelah 96 tahun usia NU menurut kalender Masehi atau 99 tahun, kaum perempuan diakomodasi dalam susunan PBNU," lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu. Sementara itu, Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU KH Miftachul Akhyar menyampaikan bahwa kepengurusan PBNU saat ini cukup besar. Hal ini mengingat kebutuhannya untuk bukan saja mengurusi Nahdliyin di Indonesia, tapi juga untuk dunia internasional. "Semoga NU dalam periode ini bukan sekadar besar anggotanya, tapi besar produknya dan besar kemaslahatannya untuk kepentingan umat," ujarnya Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, Jawa Timur itu. Pewarta Syakir NF Editor Fathoni Ahmad
kh ahmad said asrori magelang